Dalam tiga atau empat tahun terakhir ini, kita sedang
mengalami goncangan yang besar sebagai sebuah bangsa. Keutuhan kita sebagai
bangsa yang rukun dan damai sedang diuji kekuatannya. Masyarakat kita
terpolarisasi dalam kelompok-kelompoknya yang termanisfestasi dalam berbagai
sikap menghina, merendahkan kelompok lain, meluasnya kebencian, lunturnya
persahabatan, luruhnya solidaritas social dan berkembangnya benih-benih
perpecahan. Perbedaan yang paling sering dijadikan akar permasalahan adalah
perbedaan agama, suku dan pilihan politik.
Awalnya masyarakat kita sangat toleran terhadap perbedaan
disertai dengan tingginya rasa kekeluargaan dan kebersamaan. Namun, sikap
toleran itu dengan begitu cepat berubah menjadi sikap anti perbedaan dan sikap
permusuhan terhadap kelompok lain. Kontestasi politik yang kurang sehat menjadi
awal dalam prahara tersebut. Tanpa sadar atau dengan sengaja para politisi
memanfaatkan isu-isu sensitive seperti agama atau suku sebagai kendaraan untuk
mempengaruhi perilaku pemilih dalam kampanye-kampanye politiknya. Pendekatan
kampanye politik seperti ini adalah sangat berbahaya bagi keutuhan masyarakat
dan negara. Ini adalah pendekatan kampanye politik yang keliru dari para
politisi tertentu yang sebenarnya mengarah pada mengadu domba sendiri,
mirip-mirip dengan pendekatan kolonial zaman dulu ketika bangsa kita masih
dijajah. Memainkan politik identitas primordial sebagai kendaraan untuk meraih
kekuasaan adalah sebuah kesalahan besar dari para politisi tertentu karena
memiliki dampak jangka panjang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, masyarakat
kita yang dulunya sangat rukun, damai dan saling menolong berubah menjadi masyarakat
yang saling curiga. Hal ini tentu saja menimbulkan kerugian besar dalam
menggerus modal social dalam masyarakat kita, seperti sikap tolong menolong dan
tenggang rasa.
Kalau kita memperhatikan dengan baik, kontestasi
politik dalam pemilihan kepala-kepala daerah dan pemilihan presiden antara
2014-2019 adalah penyumbang utama dan terbesar dalam menciptakan segregasi
dalam masyarakat. Event-event politik yang besar tersebut sudah meninggalkan
bekas-bekas yang buruk dalam tatanan social kita. Misalnya banyak orang-orang
yang tadinya berteman baik di dunia nyata atau media social menjadi tidak
berteman lagi karena mereka sudah saling curiga dan tidak saling percaya.
Bahkan perpecahan tersebut sampai dalam hubungan-hubungan keluarga dimana
mungkin ada suami istri cerai karena beda pilihan politik, atau hubungan antara
anggota keluarga retak. Begitu pun dalam kelompok-kelompok masyarakat yang lebih
besar, kita dapat merasakan adanya keretakan yang sangat serius.
Ancaman terhadap keutuhan bangsa ini dipercepat dengan
meluasnya pengaruh media social. Berbeda dengan zaman dulu ketika internet dan
media social belum ada dimana sebuah informasi tidak dengan mudah disebarluaskan
dalam waktu yang sangat singkat. Kita sekarang lebih banyak dibanjiri oleh
informasi yang penyebarannya begitu mudah dan dapat diakses oleh jutaan
masyarakat hanya dalam waktu beberapa menit. Sayang tidak semua berita yang
disebarkan mengandung kebenaran. Banyak juga berita palsu (hoax) yang sengaja
diproduksi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan baik kepentingan
politik maupun ekonomi. Celakanya, masyarakat kita masih memiliki tingkat
literasi yang rendah yang ditandai dengan mudahnya menerima sebuah informasi
dan mempercayainya tanpa menganalisa dengan kritis kebenaran berita-berita yang
diterimanya. Semua informasi diterima tanpa mempertanyakan sumber beritanya
dari mana atau siapa yang menyebarkan beritanya, apakah berita tersebut
mengandung fakta yang benar atau hanya propaganda atau berita palsu. Hal ini tentu
saja adalah bagian dari lemahnya system Pendidikan kita yang mungkin kurang
begitu menekankan daya kritis dalam Pendidikan kita. Akibatnya banyak orang
mudah percaya pada setiap informasi hoax tanpa berupaya untuk menyaring dan
meragukannya. Misalnya, banyak orang menshare informasi di media social tanpa
menyaring terlebih dahulu kebenaran dari berita tersebut.
Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa ujian terbesar
kita adalah keberanian dan komitmen kita untuk tetap merawat persatuan dalam
perbedaan dengan mengedepankan sikap saling menghormati. Ketika nilai-nilai luhur
kebangsaan kita hargai melalui prinsip kesatuan dalam keberagaman atau Bhinneka
Tunggal Ika, maka keutuhan masyarakat bisa tetap kokoh. Setelah berakhirnya
pemilu dan terjadinya pelantikan presiden serta pembentukan cabinet pada 23
Oktober 2019, kita melihat ada perubahan besar dalam konstelasi politik karena
kedua kubu sudah menyatu dalam satu cabinet. Kita belum tahu betul scenario apa
yang sedang dibangun namun kita hanya tetap berharap agar keutuhan bangsa kita
tetap terjaga.
Sekarang ini, kita dapat merasakan menurunnya
ketegangan dalam kedua kubu supporter terutama jika memperhatikan diskusi-diskusi dalam
media social. Kedua kubu tidak memiliki alasan untuk saling bertentangan atau
menjatuhkan karena para pemimpin kedua kubu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda
menyatu. Banyak pendukung kedua kubu yang kecewa karena banyak yang berharap
agar kondisi ketegangan tersebut berkelanjutan. Akibatnya, diskusi di media
kurang seru di antara kedua kubu. Namun, pertanyaannya adalah berapa lama
kondisi ini akan berlangsung? Apakah mungkin ada usaha-usaha tertentu untuk
memanaskan situasi lagi demi memperebutkan kekuasaan di 2024? Kita belum tahu
pasti, kita coba perhatikan saja sambil mendoakan agar muncul politisi-politisi
berani dan tegas dan tidak mengorbankan masyarakat untuk kepentingan kekuasaan
yang singkat!
By: Notatema Gea
By: Notatema Gea